SEKITAR 15-20 tahun yang lalu (dihitung dari tahun 2000) kita mungkin tak dapat membayangkan bahwa suatu saat negeri ini akan dihiasi oleh berbagai stasiun televisi swasta. Pertelevisian nasional didominasi oleh stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI, yang bernaung di bawah Departemen Penerangan. Program-programnya, tidaklah mengherankan, berisi hal-hal yang sesuai dengan selera pemerintah. Dalam suasana pemerintah Orde Baru yang kurang atau mungkin bahkan tidak demokratis, praktis rakyat tidak memiliki banyak pilihan menonton acara televisi yang sesuai dengan seleranya. Hanya segelintir masyarakat yang dapat menikmati tayangan alternatif (televisi asing) melalui parabola, mengingat untuk memilikinya relatif mahal.
Program-program TVRI periode Orde Baru mungkin juga dapat disaksikan pada negara-negara yang memiliki pemerintahan yang relatif otoriter: cenderung monoton. Mungkin begitulah ciri pertelevisian nasional di negara-negara yang tidak demokratis.
Sekitar tahun 1989 kita mengenal televisi swasta pertama yaitu RCTI, stasiun televisi swasta yang dikenal luas dimiliki oleh anggota Keluarga Cendana. Demikian pula sekitar tahun 1990, muncul SCTV, tahun 1991 muncul TPI dan terus bermunculan Indosiar dan ANTV. Kehadiran mereka sedikit banyak menyajikan tayangan alternatif yang sesuai dengan selera masyarakat. Namun pembatasan mengenai apa yang boleh dan yang tak boleh ditayangkan masih terasa. Program diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah masih sangat kurang –untuk tidak mengatakan tidak ada.
Revolusi 1998 yang melengserkan simbol Orde Baru yaitu Soeharto (lahir tahun 1921) dari jabatannya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia, mengubah banyak hal. Berbagai hal-hal yang sekian lama dinilai tabu dibahas pada periode kekuasaannya begitu cepat diungkap atau disebar luas, semisal berbagai praktek pelanggaran HAM dan praktek KKN. Gairah masyarakat untuk lebih berpartisipasi menentukan nasib bangsa dan negara –yang tentu terkait dengan nasib mereka sendiri– seakan mendapat “angin surga”. Para pejabat dan aparat –baik sipil dan militer– yang sekian lama cenderung dinilai sewenang-wenang sempat terpojok dan menjadi obyek sikap kritis masyarakat, terutama LSM.
Angin surga kebebasan tersebut merambah pula ke dalam dunia pertelevisian kita. Program-program yang disajikan lebih bervariasi dan “berani”. Beberapa stasiun televisi baru muncul.
Namun perkara berani atau bervariasi agaknya makin lama makin melampaui batas, kian jauh dan menyimpang dari ukuran yang patut. Penulis menilai bahwa betapapun variatifnya acara televisi, program-program yang disajikan agaknya dapat dibagi dalam beberapa kelompok semisal telenovela, film India, sinetron, musik dangdut dan tayangan misteri. Acara-acara demikian nyaris ada pada setiap stasiun. Seiring perjalanan waktu, mulai ada yang mengkritisi hal demikian.
Sebagai contoh, kita simak tayangan musik dangdut dan misteri. Jika kita mencermatinya, nyatalah bahwa penampilan para artis dangdut makin lama makin berani dalam arti pamer aurat dan gerak-geriknya cenderung erotis. Pada umumnya mereka adalah generasi muda. Penampilan tersebut sempat menimbulkan keprihatinan para seniornya. Para senior merasa telah bersusah payah mengangkat martabat musik dangdut dari musik yang dinilai pinggiran atau kampungan menuju level terhormat di pentas nasional, bahkan internasional. Penampilan seronok para artis muda tersebut dinilai dapat menjerumuskan musik dangdut hingga menjadi musik comberan.
Mengenai tayangan misteri, ini tak terlepas dari peradaban kita (Timur) yang meyakini sesuatu yang ghaib. Ini mungkin dapat difahami, bahwa perkara ghaib sangat terkait dengan agama yang memang lahir di Timur semisal Hindu, Budha, Konghucu, Nasrani dan Islam. Bahkan sebelum ada agama, manusia –terutama di Timur– meyakini bahwa di balik segala yang tertangkap panca indera juga terdapat alam yang misteri, yaitu alam yang terdapat kekuatan atau kuasa besar mengatur segala yang ada –yang lazim disebut Tuhan atau Dewa/i, ruh, setan atau hantu. Kepercayaan itulah yang agaknya dieksploitasi habis-habisan oleh (setiap) stasiun TV. Bahkan untuk pembuktian alam ghaib, beberapa orang bersedia menjadi peserta “survey” dengan istilah seperti “uji nyali” dan “uka-uka”. Si peserta ditinggal sendirian di tempat yang dinilai angker pada malam hari, umumnya berakhir jam 05.00.
Dalam konteks Indonesia yang notabene mayoritas Muslim, tak pelak bahwa tayangan tersebut merusak mental masyarakat. Masyarakat seakan dituntun untuk percaya alam ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan agama Islam –lazim disebut syirik– dan umbar aurat. Tayangan tersebut boleh dibilang menguntungkan stasiun bersangkutan ditinjau dari banyak iklan yang menghiasi acara tersebut, perkara dampak terhadap masyarakat itu soal lain. Serahkan saja pada diri masing-masing penonton.
Bagi yang cermat menyimak, tayangan yang dinilai merusak mental masyarakat adalah hasil dari peradaban kapitalisasi global yang berfokus mencari untung (materi) belaka tanpa peduli dampak moralnya. Jika menyebut kapitalis, hampir pasti bahwa yang teringat adalah dunia Barat. Bahkan ada yang menilai bahwa tayangan yang disajikan kepada masyarakat Indonesia bukan sekadar mencari untung, tapi terselip suatu misi tertentu yaitu penjajahan budaya atau norma atau pernah penulis baca dengan istilah penetrasi budaya. Memang penetrasi di bidang budaya merupakan bagian dari imperialisme Barat selain dominasi di bidang politik dan eksploitasi di bidang ekonomi. Walaupun cara dan wujudnya mungkin berbeda sesuai dengan perjalanan zaman namun dasarnya tetap sama.
Untuk menghadapi penjajahan model itu, bukanlah dengan cara militer yang didukung persenjataan paling canggih, karena norma adalah sesuatu yang abstrak tetapi hidup atau ada di masyarakat. Maka harus dihadapi dengan cara yang abstrak pula.
Sejauh ini agama adalah cara yang tepat untuk menangkal dampak merusak dari tayangan TV, baik diberikan di rumah/keluarga –dan ini yang paling dasar– juga diberikan di lembaga pendidikan. Dinilai sebagai cara yang tepat karena agama memiliki serangkaian hukum atau moral yang bila dilanggar akan menemui akibat yang lazim disebut dosa, semacam noda atau cacat yang harus dibereskan oleh hukuman dalam tempat yang sering digambarkan secara mengerikan yang lazim disebut neraka.
Dalam ghaib, Tuhan menjelaskan bahwa yang pertama dan utama ghaib adalah Tuhan itu sendiri. Manusia dituntut percaya ghaib dengan mendahulukan percaya kepada Tuhan, Dzat yang Maha Ghaib. Dengan kepercayaan dasar demikian manusia diarahkan percaya bahwa Tuhan mampu menciptakan makhluk ghaib.
Untuk menutup kemungkinan manusia memperlakukan perkara ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan-Nya, Tuhan menjelaskan bahwa makhluk ghaib juga dibebani kewajiban mengabdi kepada Tuhan dan segala perilakunya juga dimintai pertanggung jawaban, sama halnya dengan manusia. Setahu penulis, antara makhluk ghaib dan manusia diizinkan saling berhubungan dalam lingkup tauhid, bukan syirik.
Mengenai seni, agama menjelaskan bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta. Tentu saja mampu menciptakan yang indah-indah semisal hutan hijau, langit cerah serta sungai yang bagai berlenggak-lenggok. Manusia hanya meniru ciptaan tersebut dengan menyimak alam sekitar. Manusia diizinkan mengungkapkan rasa indahnya dengan tujuan makin mencintai sumber keindahan yaitu Tuhan sendiri. Mengumbar gerakan dan pakaian seronok tentunya tidak termasuk yang mendapat izin Tuhan.
Tetapi maksud akhir agama bukanlah untuk menuntun orang menggembirakan dengan surga dan menakuti dengan neraka, tetapi menuntun manusia untuk hidup dan mati sesuai kehendak Tuhan sebagai rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan kepada kita, termasuk nikmat hiburan. Dan hal tersebut memiliki peluang berguna menyikapi berbagai tayangan TV yang telah merambah ruang privat kita yaitu kamar tidur atau (mungkin) WC kita.
Kaum Muslim jelas mendapat tanggung jawab berat menyelamatkan Indonesia dari dekadensi moral karena mayoritas penonton adalah kaum Muslim pula. Sikap kritis terhadap tayangan TV perlu ditampilkan, bagaimanapun orang membuat stasiun TV dan menyusun acaranya tidak terlepas dari perhitungan dagang, jika bicara soal dagang orang cenderung lebih mengutamakan untung –tentu dalam arti materi– tanpa atau sedikit mempedulikan dampak moral. Sadar atau tidak sadar para pemilik modal melaksanakan agenda imperialis. Gerakan imperialis menetapkan bahwa penjajahan dapat dilaksanakan melalui media elektronik –hampir pasti menjadikan kaum Muslim sebagai target utama, di Indonesia telah tersedia para anteknya yang siap melaksanakan program tersebut.
Kegagalan imperialis Barat dalam perang salib (1095-1291) disimak dengan cermat. Kaum Muslim sulit dijajah kalau imannya belum diperlemah atau moralnya belum dirusak. Media elektronik dapat berperan ampuh menyebarkan faham yang mengagungkan nikmat lahir atau duniawi, yang lazim disebut hedonisme. Tepat peringatan Muhammad menjelang akhir hayat bahwa kaum Muslim akan takluk karena cinta dunia dan takut mati. Dua perasaan itulah yang menjadi target bidik untuk di tumbuh-kembangkan oleh imperialis Barat.
Senin, 31 Mei 2010
BAB III PRAKTEK KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME
KETIKA gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa bergulir menuntut perbaikan, satu di antara yang menjadi sorotan adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada juga yang menambah dengan kroniisme. Penulis cenderung menempatkan kroniisme ke dalam nepotisme karena nepotisme memiliki cakupan yang lebih luas. Nepotisme mungkin dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar rasa keterikatan tertentu yang menjadi dasar utama pemberian dan penerimaan jabatan tertentu. Jenis keterikatan tersebut beragam semisal karena satu daerah, satu suku, satu almamater dan satu keluarga. Kroniisme adalah bentuk nepotisme berdasar rasa keterikatan sebagai kawan.
Kolusi dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar persamaan kepentingan tertentu, antara fihak yang memiliki jabatan publik dengan fihak anggota masyarakat tertentu, yang ingin mendapat keuntungan dengan imbalan membagi hasil keuntungan tersebut kepada yang memiliki jabatan tersebut. Bentuk hubungan ini dapat tercampur dengan motif nepotisme atau juga tidak.
Korupsi dapat didefinisikan dengan bentuk perselingkuhan berdasar pemanfaatan wewenang yang dipercayakan padanya untuk hal-hal yang tak sesuai dengan tujuan pemberian wewenang tersebut.
Sejauh ini penulis belum mengetahui kapan dan siapa-siapa yang pertama kali berbuat hal-hal tersebut di atas. Untuk konteks Indonesia, setahu penulis adalah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang mempraktekkan tersebut.
VOC dibentuk berdasarkan pertimbangan untuk menghilangkan persaingan antara para pedagang Belanda sebagai akibat diketahuinya jalur laut menuju Nusantara, yang merupakan sumber rempah-rempah yang sangat dicari di Eropa. Jalur tersebut dirambah pertama kali oleh Belanda berdasar data-data yang didapat dari kegiatan spionase terhadap Spanyol-Portugis. Untuk waktu yang lama Belanda bermusuhan dengan kedua bangsa tersebut.
Cornelis de Houtman –seorang taruna angkatan laut– mendapat kehormatan memimpin suatu rombongan menempuh jalur yang terbilang sulit tersebut. Dia tiba di pelabuhan Banten pada 1596, yang kelak merupakan peristiwa besar bagi Belanda maupun Indonesia. Kehadiran dia merupakan awal hubungan Belanda-Indonesia.
Ketika itu Banten termasuk kerajaan penting di Nusantara, negara tersebut menguasai selat strategis, yaitu Selat Sunda, terlebih lagi setelah para musafir dari berbagai bangsa menghindari Selat Malaka karena penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis. Banten juga menguasai Lampung, wilayah penghasil rempah-rempah walaupun mungkin tidak semelimpah sebagaimana di Maluku. Namun kelak Banten –sebagai akibat penjajahan asing yang lama– dikenal sebagai daerah terbelakang: penuh kemiskinan dan kebodohan. Padahal Banten termasuk memiliki jasa besar dalam membangun peradaban sekaligus dalam berjuang melawan penjajahan, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Dengan segala keterbatasan atau penderitaannya, Banten sanggup menampilkan tokoh-tokoh terbaiknya, umumnya ulama sekaligus pahlawan.
Sejak perjalanan pertama yang dinilai sukses itu, berlomba-lombalah warga Belanda menghimpun dana dan mengirim ekspedisi ke Nusantara –dikenal dengan istilah wilde vaart– muncul persaingan tak sehat karena nafsu besar meraih untung dengan cara apapun.
Pemerintah Belanda –dikenal dengan Republik 7 Negeri Belanda Bersatu– mencoba menghimpun mereka ke dalam satu wadah tunggal yaitu VOC dengan hak monopoli, hak yang sesungguhnya hanya berlaku untuk 21 tahun tetapi kemudian dengan licik menjadi berkepanjangan hingga perusahaan tersebut bangkrut.
Hak lain yang luar biasa adalah VOC boleh membuat perjanjian, membangun benteng, membentuk tentara dan menyatakan perang. Dengan demikian VOC memiliki posisi bermuka dua, yaitu pedagang dan pemerintah –suatu hak yang kemudian justru mempersulit VOC sendiri.
Dengan kehadiran VOC, maka praktis tertutup peluang untuk membentuk perusahaan lain, karena VOC memegang monopoli di Belanda maupun seberang lautan. Dengan mudah VOC hidup tanpa saingan dengan sesama orang Belanda, suara-suara protes dengan relatif mudah dibungkam mengingat orang-orang yang ada di perusahaan memiliki hubungan –semisal keluarga– dengan orang-orang yang ada di pemerintahan. Ini memang kolusi dan nepotisme asli!
Ada pepatah bijak power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup) dan VOC mengamalkannya dengan murni dan konsekuen – meminjam istilah rezim Soeharto. Wewenang luar biasa tersebut membuka lebar berbagai bentuk perselingkuhan: berbohong ke atas berdusta ke bawah.
Ketika VOC bangkrut, segala aset dan hutang piutang diambil alih oleh pemerintah. Untuk memulihkan kebangkrutan tersebut dari mana lagi kalau bukan dari Moii Indie –sebutan lain untuk surga tropis Nusantara. Maka dikenallah berbagai praktek eksploitasi ekonomi yang lebih kejam, karena dilaksanakan oleh pemerintah melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan bukan lagi oleh swasta yang nota bene memang bertujuan cari untung, antara lain yang dikenal dengan istilah cultuurstelsel yang pada prakteknya dikenal dengan istilah Indonesia tanam paksa. Para petani dipaksa menanam beberapa jenis tumbuhan bernilai komoditi yang ketika itu laku di Eropa.
Mudarat akibat praktek KKN telah disimak dengan cermat oleh orang Belanda, mereka bertekad tidak mengulangi kesalahan melalui VOC. Arus uang dan barang diperiksa seteliti mungkin, jika ada penyimpangan sedikit saja maka si pelaku mendapat hukuman. Sepengetahuan penulis tidak ada surat peringatan pertama, kedua hingga ketiga. Peringatan sudah diberikan ketika mulai diterima masuk kerja.
Ketika bangsa Belanda say goodbye kepada praktek KKN, bangsa Indonesia justru melaksanakannya setelah menyadari bahwa perilaku tersebut dinilai menarik. Tertarik karena bangsa ini memang memiliki “fitrah” selingkuh: mencuri atau berbohong. Agaknya bangsa ini jika ingin sesuatu menempuh cara mencuri, sampai punya bahasapun agaknya dari hasil curian bahasa asing. Betapa banyak istilah-istilah asing yang menghiasi kosakata bahasa Indonesia! Suka tak suka agaknya kita dituntut mengakui hal ini sebagai bagian dari kritik diri bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa asing yang dicuri bangsa Indonesia.
Kembali ke soal KKN, seiring berjalan waktu, praktek tersebut menjadi budaya, suatu tata nilai yang jauh lebih sulit diubah dibanding dengan kebiasaan, karena telah menjadi aset kolektif, yaitu bangsa, dan bukan oknum.
Bagaimana posisi kaum Muslim terkait dengan ini? Tak pelak lagi bahwa umumnya para koruptor adalah kaum Muslim –sebagai konsekuensi atau resiko kaum mayoritas di negeri ini. Dengan “sukses” kaum Muslim sebagai mantan murid VOC mengamalkan KKN. Hampir dari level terbawah hingga teratas adalah maling atau neo-kanibalis. Pesan-pesan dalam kitab dan sunnah yang mengingatkan bahwa jabatan adalah amanat dengan pertanggung jawaban yang mengerikan kelak di akhirat cenderung kurang disimak. Maka coba periksa apa yang tidak dikorup, bahkan bantuan untuk korban bencana pun tidak dilewatkan untuk dikorup. Tak heran begitu banyak yang tidak sampai kepada yang berhak.
Jika kita ingat pencuri, kemungkinan besar yang teringat adalah bahwa pelakunya adalah orang miskin. Karena tak punya pilihan lain untuk mengisi perut, dia menempuh langkah itu. Tetapi Indonesia menyajikan suatu keanehan yang parah, para koruptor hampir semua adalah bukan orang miskin: mereka punya jabatan, dapat gaji layak dan disediakan fasilitas, tetapi justru mereka lebih maling dari pada maling!
Seakan belum cukup keanehan itu, dengan uang haram mereka menunaikan ibadah haji atau ‘umrah. Mungkin mereka sanggup berulangkali bolak-balik ke tanah suci dengan uang tersebut. Atau jika mereka tersangkut hukum karena itu, pergi haji atau ‘umrah menjadi dalil yang cukup jitu menghindar dari jerat hukum.
Penulis mendapat info dari satu anggota keluarga, yang karena satu dan lain hal harus berurusan dengan aparat. Sang oknum terkesan berusaha mempersulit urusan tersebut yang ternyata –sudah menjadi rahasia umum– dia berusaha mengamalkan “UUD secara murni dan konsekuen”, yang agaknya sesuai dengan apa yang dia terima dalam penataran P4 ala rezim Soeharto. Yaitu tentu saja yang dimaksud bukan Undang Undang Dasar tetapi “Ujung Ujungnya Duit”. Mereka diperas dengan berbagai macam dalih. Salah satu dalihnya adalah karena si oknum aparat tadi perlu uang untuk biaya ‘umrah. Coba renungkan, beribadat dengan uang hasil perbuatan mungkar! Sesuatu hal yang mungkin tidak masuk akal bagi bangsa lain, sekafir apapun ia, tetapi masuk akal bagi bangsa Indonesia.
Runtuhnya rezim Soeharto akibat gerakan reformasi sempat menumbuhkan harapan bagi pendamba keadilan di negeri ini, tetapi untuk kesekian kali agaknya harapan harus pupus untuk beberapa lama karena penguasa berikutnya –termasuk ketika dipimpin seorang kiyai– hanyut dengan gaya rezim sebelumnya. Praktek KKN makin menjadi-jadi.
Ada lagi pemahaman keliru yang menjangkiti umat, bulan Ramadhan mestinya untuk latihan kendali diri, untuk diterapkan pada 11 bulan lainnya. Istilah muluknya “11 bulan dijadikan Ramadhan” yaitu berarti perilaku shalih selama Ramadhan dipraktekkan pula pada bulan-bulan yang lain. Namun yang difahami (dan dipraktekkan) adalah 11 bulan untuk “suka-suka” –termasuk mencari rezeki haram– dan 1 bulan dalam Ramadhan untuk “bersih-bersih”. Setelah itu selama 11 bulan ke depan kembali semau gue. Tak heran jika bangsa ini sulit mendapat rahmat dan barokah.
Masih terkait dengan harta, zakat yang mestinya diambil dari harta halal untuk “membersihkan” harta dan pemiliknya –karena sekian persen dari harta tersebut merupakan hak orang lain yang dititipkan Allah kepada insan yang mendapatnya– ternyata dipahami secara keliru pula. Tahu bahwa dia meraih rezeki haram dengan cara bathil, dia pakai untuk ibadat sosial semisal zakat, infaq dan shadaqah dengan harapan dosa-dosa dari rezeki haram tersebut berkurang atau hapus sama sekali. Mungkin terfikir, disamping dosa karena korupsi tentu ada pahala karena memberi. Yah, sejelek-jeleknya dapat nilai 50-50. Jika harus masuk neraka, minimal dia sempat menikmati dunia.
Untuk memberantas KKN memang tidak mudah karena dari ‘kebiasaan’ menjadi budaya. Budaya adalah jenis perilaku yang lebih sulit karena telah menyebar dalam level nasional. Tetapi perlu ada usaha memberantasnya walaupun perlu perjuangan ekstra keras dalam jangka waktu amat panjang. Misalnya, pertama, dapat dimulai dengan tidak menshalatkan mayat orang yang terkait dengan kasus korupsi. Langsung saja mayatnya dimasukkan ke kubur!
Kedua, berbagai organisasi sosial hendaknya memiliki nyali untuk menolak sumbangan dari orang yang terkait dengan kasus KKN, hingga kasus tersebut jelas dengan hasil dia dinyatakan tidak bersalah.
Ketiga, mengumumkan nama-nama yang terkait kasus tersebut –semisal di tempat-tempat umum– dapat dijadikan upaya lain memberantas kasus korupsi. Tanpa bermaksud mengabaikan asas “praduga tak bersalah”, sosialisasikan nama-nama tersebut dengan judul atau keterangan “para tersangka” atau “nama-nama bermasalah”. Istilah tersangka atau bermasalah mengandung pengakuan bahwa nama-nama tersebut belum tentu bersalah. Namanya juga tersangka, mungkin ya mungkin tidak bersalah. Namun hal tersebut dapat menjadi peringatan awal bagi warga untuk memberi sanksi sosial semisal menjaga jarak atau tidak memberi jabatan apapun hingga mereka terbukti secara hukum tidak bersalah. Dengan demikian diharapkan para tersangka tersebut tergerak untuk berusaha menjernihkan kasusnya karena merasa “gerah” dengan sanksi sosial tersebut jika didiamkan saja. Para tersangka tersebut hendaknya juga mencakup para hamba hukum, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa antara hamba hukum dengan tersangka terjadi kolusi. Begitu muncul SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan), segera usut sebab-sebabnya.
Seseorang yang sejak mencalonkan atau dicalonkan menempati jabatan tertentu perlu diperiksa hartanya dan diumumkan. Begitu pula ketika dia selesai masa jabatannya. Dari situ dapat diperbandingkan berapa hartanya ketika mulai mencalonkan/dicalonkan dengan jumlah harta saat dia berhenti.
Kolusi dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar persamaan kepentingan tertentu, antara fihak yang memiliki jabatan publik dengan fihak anggota masyarakat tertentu, yang ingin mendapat keuntungan dengan imbalan membagi hasil keuntungan tersebut kepada yang memiliki jabatan tersebut. Bentuk hubungan ini dapat tercampur dengan motif nepotisme atau juga tidak.
Korupsi dapat didefinisikan dengan bentuk perselingkuhan berdasar pemanfaatan wewenang yang dipercayakan padanya untuk hal-hal yang tak sesuai dengan tujuan pemberian wewenang tersebut.
Sejauh ini penulis belum mengetahui kapan dan siapa-siapa yang pertama kali berbuat hal-hal tersebut di atas. Untuk konteks Indonesia, setahu penulis adalah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang mempraktekkan tersebut.
VOC dibentuk berdasarkan pertimbangan untuk menghilangkan persaingan antara para pedagang Belanda sebagai akibat diketahuinya jalur laut menuju Nusantara, yang merupakan sumber rempah-rempah yang sangat dicari di Eropa. Jalur tersebut dirambah pertama kali oleh Belanda berdasar data-data yang didapat dari kegiatan spionase terhadap Spanyol-Portugis. Untuk waktu yang lama Belanda bermusuhan dengan kedua bangsa tersebut.
Cornelis de Houtman –seorang taruna angkatan laut– mendapat kehormatan memimpin suatu rombongan menempuh jalur yang terbilang sulit tersebut. Dia tiba di pelabuhan Banten pada 1596, yang kelak merupakan peristiwa besar bagi Belanda maupun Indonesia. Kehadiran dia merupakan awal hubungan Belanda-Indonesia.
Ketika itu Banten termasuk kerajaan penting di Nusantara, negara tersebut menguasai selat strategis, yaitu Selat Sunda, terlebih lagi setelah para musafir dari berbagai bangsa menghindari Selat Malaka karena penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis. Banten juga menguasai Lampung, wilayah penghasil rempah-rempah walaupun mungkin tidak semelimpah sebagaimana di Maluku. Namun kelak Banten –sebagai akibat penjajahan asing yang lama– dikenal sebagai daerah terbelakang: penuh kemiskinan dan kebodohan. Padahal Banten termasuk memiliki jasa besar dalam membangun peradaban sekaligus dalam berjuang melawan penjajahan, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Dengan segala keterbatasan atau penderitaannya, Banten sanggup menampilkan tokoh-tokoh terbaiknya, umumnya ulama sekaligus pahlawan.
Sejak perjalanan pertama yang dinilai sukses itu, berlomba-lombalah warga Belanda menghimpun dana dan mengirim ekspedisi ke Nusantara –dikenal dengan istilah wilde vaart– muncul persaingan tak sehat karena nafsu besar meraih untung dengan cara apapun.
Pemerintah Belanda –dikenal dengan Republik 7 Negeri Belanda Bersatu– mencoba menghimpun mereka ke dalam satu wadah tunggal yaitu VOC dengan hak monopoli, hak yang sesungguhnya hanya berlaku untuk 21 tahun tetapi kemudian dengan licik menjadi berkepanjangan hingga perusahaan tersebut bangkrut.
Hak lain yang luar biasa adalah VOC boleh membuat perjanjian, membangun benteng, membentuk tentara dan menyatakan perang. Dengan demikian VOC memiliki posisi bermuka dua, yaitu pedagang dan pemerintah –suatu hak yang kemudian justru mempersulit VOC sendiri.
Dengan kehadiran VOC, maka praktis tertutup peluang untuk membentuk perusahaan lain, karena VOC memegang monopoli di Belanda maupun seberang lautan. Dengan mudah VOC hidup tanpa saingan dengan sesama orang Belanda, suara-suara protes dengan relatif mudah dibungkam mengingat orang-orang yang ada di perusahaan memiliki hubungan –semisal keluarga– dengan orang-orang yang ada di pemerintahan. Ini memang kolusi dan nepotisme asli!
Ada pepatah bijak power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup) dan VOC mengamalkannya dengan murni dan konsekuen – meminjam istilah rezim Soeharto. Wewenang luar biasa tersebut membuka lebar berbagai bentuk perselingkuhan: berbohong ke atas berdusta ke bawah.
Ketika VOC bangkrut, segala aset dan hutang piutang diambil alih oleh pemerintah. Untuk memulihkan kebangkrutan tersebut dari mana lagi kalau bukan dari Moii Indie –sebutan lain untuk surga tropis Nusantara. Maka dikenallah berbagai praktek eksploitasi ekonomi yang lebih kejam, karena dilaksanakan oleh pemerintah melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan bukan lagi oleh swasta yang nota bene memang bertujuan cari untung, antara lain yang dikenal dengan istilah cultuurstelsel yang pada prakteknya dikenal dengan istilah Indonesia tanam paksa. Para petani dipaksa menanam beberapa jenis tumbuhan bernilai komoditi yang ketika itu laku di Eropa.
Mudarat akibat praktek KKN telah disimak dengan cermat oleh orang Belanda, mereka bertekad tidak mengulangi kesalahan melalui VOC. Arus uang dan barang diperiksa seteliti mungkin, jika ada penyimpangan sedikit saja maka si pelaku mendapat hukuman. Sepengetahuan penulis tidak ada surat peringatan pertama, kedua hingga ketiga. Peringatan sudah diberikan ketika mulai diterima masuk kerja.
Ketika bangsa Belanda say goodbye kepada praktek KKN, bangsa Indonesia justru melaksanakannya setelah menyadari bahwa perilaku tersebut dinilai menarik. Tertarik karena bangsa ini memang memiliki “fitrah” selingkuh: mencuri atau berbohong. Agaknya bangsa ini jika ingin sesuatu menempuh cara mencuri, sampai punya bahasapun agaknya dari hasil curian bahasa asing. Betapa banyak istilah-istilah asing yang menghiasi kosakata bahasa Indonesia! Suka tak suka agaknya kita dituntut mengakui hal ini sebagai bagian dari kritik diri bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa asing yang dicuri bangsa Indonesia.
Kembali ke soal KKN, seiring berjalan waktu, praktek tersebut menjadi budaya, suatu tata nilai yang jauh lebih sulit diubah dibanding dengan kebiasaan, karena telah menjadi aset kolektif, yaitu bangsa, dan bukan oknum.
Bagaimana posisi kaum Muslim terkait dengan ini? Tak pelak lagi bahwa umumnya para koruptor adalah kaum Muslim –sebagai konsekuensi atau resiko kaum mayoritas di negeri ini. Dengan “sukses” kaum Muslim sebagai mantan murid VOC mengamalkan KKN. Hampir dari level terbawah hingga teratas adalah maling atau neo-kanibalis. Pesan-pesan dalam kitab dan sunnah yang mengingatkan bahwa jabatan adalah amanat dengan pertanggung jawaban yang mengerikan kelak di akhirat cenderung kurang disimak. Maka coba periksa apa yang tidak dikorup, bahkan bantuan untuk korban bencana pun tidak dilewatkan untuk dikorup. Tak heran begitu banyak yang tidak sampai kepada yang berhak.
Jika kita ingat pencuri, kemungkinan besar yang teringat adalah bahwa pelakunya adalah orang miskin. Karena tak punya pilihan lain untuk mengisi perut, dia menempuh langkah itu. Tetapi Indonesia menyajikan suatu keanehan yang parah, para koruptor hampir semua adalah bukan orang miskin: mereka punya jabatan, dapat gaji layak dan disediakan fasilitas, tetapi justru mereka lebih maling dari pada maling!
Seakan belum cukup keanehan itu, dengan uang haram mereka menunaikan ibadah haji atau ‘umrah. Mungkin mereka sanggup berulangkali bolak-balik ke tanah suci dengan uang tersebut. Atau jika mereka tersangkut hukum karena itu, pergi haji atau ‘umrah menjadi dalil yang cukup jitu menghindar dari jerat hukum.
Penulis mendapat info dari satu anggota keluarga, yang karena satu dan lain hal harus berurusan dengan aparat. Sang oknum terkesan berusaha mempersulit urusan tersebut yang ternyata –sudah menjadi rahasia umum– dia berusaha mengamalkan “UUD secara murni dan konsekuen”, yang agaknya sesuai dengan apa yang dia terima dalam penataran P4 ala rezim Soeharto. Yaitu tentu saja yang dimaksud bukan Undang Undang Dasar tetapi “Ujung Ujungnya Duit”. Mereka diperas dengan berbagai macam dalih. Salah satu dalihnya adalah karena si oknum aparat tadi perlu uang untuk biaya ‘umrah. Coba renungkan, beribadat dengan uang hasil perbuatan mungkar! Sesuatu hal yang mungkin tidak masuk akal bagi bangsa lain, sekafir apapun ia, tetapi masuk akal bagi bangsa Indonesia.
Runtuhnya rezim Soeharto akibat gerakan reformasi sempat menumbuhkan harapan bagi pendamba keadilan di negeri ini, tetapi untuk kesekian kali agaknya harapan harus pupus untuk beberapa lama karena penguasa berikutnya –termasuk ketika dipimpin seorang kiyai– hanyut dengan gaya rezim sebelumnya. Praktek KKN makin menjadi-jadi.
Ada lagi pemahaman keliru yang menjangkiti umat, bulan Ramadhan mestinya untuk latihan kendali diri, untuk diterapkan pada 11 bulan lainnya. Istilah muluknya “11 bulan dijadikan Ramadhan” yaitu berarti perilaku shalih selama Ramadhan dipraktekkan pula pada bulan-bulan yang lain. Namun yang difahami (dan dipraktekkan) adalah 11 bulan untuk “suka-suka” –termasuk mencari rezeki haram– dan 1 bulan dalam Ramadhan untuk “bersih-bersih”. Setelah itu selama 11 bulan ke depan kembali semau gue. Tak heran jika bangsa ini sulit mendapat rahmat dan barokah.
Masih terkait dengan harta, zakat yang mestinya diambil dari harta halal untuk “membersihkan” harta dan pemiliknya –karena sekian persen dari harta tersebut merupakan hak orang lain yang dititipkan Allah kepada insan yang mendapatnya– ternyata dipahami secara keliru pula. Tahu bahwa dia meraih rezeki haram dengan cara bathil, dia pakai untuk ibadat sosial semisal zakat, infaq dan shadaqah dengan harapan dosa-dosa dari rezeki haram tersebut berkurang atau hapus sama sekali. Mungkin terfikir, disamping dosa karena korupsi tentu ada pahala karena memberi. Yah, sejelek-jeleknya dapat nilai 50-50. Jika harus masuk neraka, minimal dia sempat menikmati dunia.
Untuk memberantas KKN memang tidak mudah karena dari ‘kebiasaan’ menjadi budaya. Budaya adalah jenis perilaku yang lebih sulit karena telah menyebar dalam level nasional. Tetapi perlu ada usaha memberantasnya walaupun perlu perjuangan ekstra keras dalam jangka waktu amat panjang. Misalnya, pertama, dapat dimulai dengan tidak menshalatkan mayat orang yang terkait dengan kasus korupsi. Langsung saja mayatnya dimasukkan ke kubur!
Kedua, berbagai organisasi sosial hendaknya memiliki nyali untuk menolak sumbangan dari orang yang terkait dengan kasus KKN, hingga kasus tersebut jelas dengan hasil dia dinyatakan tidak bersalah.
Ketiga, mengumumkan nama-nama yang terkait kasus tersebut –semisal di tempat-tempat umum– dapat dijadikan upaya lain memberantas kasus korupsi. Tanpa bermaksud mengabaikan asas “praduga tak bersalah”, sosialisasikan nama-nama tersebut dengan judul atau keterangan “para tersangka” atau “nama-nama bermasalah”. Istilah tersangka atau bermasalah mengandung pengakuan bahwa nama-nama tersebut belum tentu bersalah. Namanya juga tersangka, mungkin ya mungkin tidak bersalah. Namun hal tersebut dapat menjadi peringatan awal bagi warga untuk memberi sanksi sosial semisal menjaga jarak atau tidak memberi jabatan apapun hingga mereka terbukti secara hukum tidak bersalah. Dengan demikian diharapkan para tersangka tersebut tergerak untuk berusaha menjernihkan kasusnya karena merasa “gerah” dengan sanksi sosial tersebut jika didiamkan saja. Para tersangka tersebut hendaknya juga mencakup para hamba hukum, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa antara hamba hukum dengan tersangka terjadi kolusi. Begitu muncul SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan), segera usut sebab-sebabnya.
Seseorang yang sejak mencalonkan atau dicalonkan menempati jabatan tertentu perlu diperiksa hartanya dan diumumkan. Begitu pula ketika dia selesai masa jabatannya. Dari situ dapat diperbandingkan berapa hartanya ketika mulai mencalonkan/dicalonkan dengan jumlah harta saat dia berhenti.
Langganan:
Postingan (Atom)